Rabu, 07 Desember 2011

Kampanye Antikekerasan Terhadap Perempuan: Sebuah Pengukuhan Paham Kebebasan

Prespektif perempuan sebagai korban kekerasan telah mendorong para pegiat gender untuk melakukan aksi kampanye antikekerasan terhadap perempuan.  Dengan berbekal data, mereka melakukan serangkian agenda untuk menolak segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Seperti dilaporkan Komnas Perempuan, sepanjang 1998-2010 telah terjadi 295.836 kasus. Kekerasan seksual dan kekerasan terhadap buruh migran mendominasi  angka tersebut. Begitu penting makna aksi ini bagi mereka, mengingat bahwa kekerasan terhadap perempuan telah menghambat hak-hak kaum perempuan untuk mendapatkan kesetaraan hukum, sosial, politik, dan ekonomi di masyarakat.
Mereka menyeru pemerintah untuk mengatasi kekerasan seksual, membatalkan kebijakan diskriminatif, dan menuntut DPR segera membahas RUU Kekerasan Seksual yang digagas LBH APIK.  Sementara itu, Institut Perempuan menuntut  DPR dan Pemerintah segera mengupayakan sistem perlindungan bagi PRT migran maupun dalam negeri.   Mereka mempertanyakan janji  SBY dalam Sesi ke-100 Sidang ILO untuk mendukung Konvensi tentang Kerja Layak  dan perlindungan PRT.

Perlindungan terhadap Perempuan
Meskipun pemerintah telah menyediakan sejumlah instrumen, angka kekerasan terhadap perempuan masih tinggi.   CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women) telah diratifikasi melalui UU No 7 Tahun 1984, menetapkan UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan UU No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Aktifis gender menilai aparat penegak hukum belum sepenuhnya menggunakan UU tersebut untuk menjerat pelaku. Vonis bebas  PN Jakarta Selatan terhadap Anand Krishna yang melakukan pelecehan seksual   membuktikan kelemahan penegakan hukum.  Oleh karena itu Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Komnas Perempuan, Mahkamah Agung, Kejaksaan, Kepolisian dan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) menandatangani nota kesepahaman tentang akses keadilan bagi perempuan korban kekerasan pada 23 November 2011.
Salah satu poin dalam kesepakatan ini adalah mengintegrasikan HAM dan gender dalam kurikulum pendidikan aparat penegak hukum. Akankah upaya tersebut mampu menghentikan kasus kekerasan yang menimpa perempuan?
Meluruskan  Masalah
Islam memandang kejahatan (jarimah) sebagai perbuatan tercela sesuai dengan ukuran syari’ (Allah). Kekerasan terhadap perempuan terjadi karena menganggap perempuan sebagai objek kejahatan.   Beberapa kasus kekerasan terhadap perempuan memang tergolong sebagai tindak kejahatan yang patut mendapatkan sanksi hukum.
Dalam sistem uqubat (sanksi dalam Islam) pelecehan seksual mendapatkan sanksi penjara 1-12 bulan, bahkan ditambah jilid (cambuk).  Pelaku perdagangan perempuan untuk tujuan seksual dapat dipenjara 3 - 15 tahun.  Sedangkan penganiayaan yang menyebabkan 1 gigi rontok wajib membayar diyat (denda) 5 ekor unta, 1 jari putus didenda 10 unta.
Namun tidak semua kategori kekerasan  itu tergolong dalam tindakan kejahatan. Feminis mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan sebagai perbuatan berdasarkan pembedaan gender yang berakibat kesengsaraan fisik, seksual atau psikologi, termasuk ancaman, pemaksaan atau perampasan kebebasan secara sewenang-wenang di ruang publik maupun privat.  Definisi itu mereka ciptakan untuk menggiring opini  bahwa agama (baca: Islam) memiliki andil untuk menciptakan kekerasan terhadap perempuan.
Keterkaitan peringatan Hari  Anti Kekerasan dengan Deklarasi Universal HAM (DUHAM) memang tak terbantahkan.  Pasal 1 DUHAM menyatakan Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak yang sama.  Merdeka membawa implikasi kebebasan berpikir, berkeyakinan, berpendapat dan bertindak. Manusia bebas melakukan apapun selama akal memandangnya logis, nurani menyangkanya baik dan tidak merugikan orang lain.
Pasal 2 memuat Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang tercantum dalam deklarasi ini dengan tidak ada pengecualian apapun. Tafsirnya adalah tidak boleh membedakan perempuan karena pandangan tertentu, apalagi agama -terutama Islam- terhadap peran dan fungsinya dalam kehidupan.
Bila negara berasaskan sekularisme, maka peraturan agama yang bersifat ‘memaksa’ tidak boleh berlaku secara general.  Akan banyak gugatan terhadap ‘doktrin’ (baca: aturan) Islam yang dinilai melanggar hak pribadi seperti kewajiban menutup aurat, pembatasan pergaulan lawan jenis, had (hukuman) keras bagi penyimpangan orientasi seksual,  poligami, dan sebagainya.  Penetapan UU/Perda syariat dianggap sebagai kekerasan yang dilakukan negara karena bertentangan dengan universalitas HAM yang menjamin pluralisme dan demokratisasi.

Eliminasi Kekerasan
Ketika kapitalisme berkuasa, segala peluang terbuka luas untuk mengekspresikan kemerdekaan individu.  Kebebasan seksual bukan lagi tabu.  Produksi barang pemuas syahwat pun berkembang  liar.  Saat keimanan menjadi barang langka, fakta ini menjadi pemicu tindakan yang merendahkan perempuan.
Kebebasan juga membuat penguasa rakus, berlaku bak pedagang yang melupakan fungsi ri’ayah pada rakyatnya.  Terpaksalah perempuan memeras keringat, bahkan rela disiksa di negeri jiran  demi makan dan sekolah anaknya.
Bila mau jujur, sebenarnya kekerasan tak hanya menimpa perempuan.  Kalangan marjinal yang minim akses pendidikan, ekonomi dan politik  kerapkali menjadi korban represi.  Selama sistem sekular menjadi anutan, kekerasan dan ketidakadilan bakal tetap berlangsung.  Karena pada hakekatnya, sistem ini berpijak pada keuntungan pihak terkuat.
Kita harus berkaca pada sistem Khilafah Islamiyyah  yang memuliakan semua manusia, tak hanya perempuan.  Sejarah membuktikan betapa Khalifah Al-Mu’tasim (833-842 Masehi) mengirim penyerbuan ke kota Ammuriah  demi menyambut seruan seorang muslimah yang dilecehkan tentara Romawi.  Khilafah Islamiyyah harus tegak demi menggantikan segala paham yang melegalkan kebebasan tanpa batas. Hanya sistem ini yang mampu mengeliminasi semua bentuk kekerasan dan kejahatan.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar